Selasa, 11 April 2017

REVIEW JURNAL DEVELOPING A CULTURALLY-RELEVANT PUBLIC RELATIONS THEORY FOR INDONESIA


DEVELOPING A CULTURALLY-RELEVANT PUBLIC RELATIONS THEORY FOR INDONESIA

Sebagai Syarat Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi (A.KOM.4)









Disusun Oleh:

Ulfa Taufany (155120207111096)





ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2017


Tulisan ini berisi hasil review saya terhadap jurnal “Developing A Culturally-Relevant Public Relations Theory For Indonesia yang ditulis oleh Rachmat Kriyantono dan Bernard Mckenna”. Tujuan review ini adalah untuk mengetahui permulaan munculnya teori public relations, teori public relations yang didominasi oleh perspektif Barat, dan budaya atau kearifan lokal yang ada di Indonesia yang relevan dengan teori public relations.

1.      Public relations merupakan disiplin ilmiah baru di bidang komunikasi

Menurut Kriyantono (2014), public relations sudah muncul sejak adanya manusia di bumi. Hal ini berkaitan dengan manusia yang harus berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Segala bentuk interaksi inilah yang disebut sebagai public relations. Dalam bukunya yang berjudul “Teori Public Relations: Perspektif Barat dan Lokal”, Kriyantono menyebutkan bahwa perkembangan public relations dimulai sejak berkembangnya dunia industri setelah revolusi industri di Eropa, lalu menyebar hingga Amerika Serikat dan Asia. Karena perkembangannya inilah, menyebabkan praktik public relation semakin meluas dan mencakup diberbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, dan sosial. Bidang-bidang tersebut banyak mempengaruhi public relations. Maka dari itu, public relation disebut sebagai ilmu sosial yang bersifat multidisiplin, sesuai dengan jurnal, hal tersebut terjadi karena public relations memiliki sedikit teori, karena pada sebagian besar, teori-teori public relations berasal atau “pinjaman” dari teori-teori atau bidang-bidang kajian lain di kehidupan (Botan & Hazleton, 2009; Greenwood, 2010; Mackey, 2003), seperti bidang psikologi, antropologi, komunikasi massa, pemasaran dan bisnis, maupun pemerintahan, tetapi menurut Edward Bernays dan Edward Robinson, public relations harus menjadi keduanya, yaitu menjadi ilmu sosial sekaligus perilaku terapan yang dapat diterapkan karena mengintegrasikan elemen teoritis dan praktis (Culbertson, Jeffers, Batu, & Terrell, 1993; J. E. Grunig & Hunt, 1984).

2.      Perspektif Barat yang mendominasi public relations

Public relations didominasi oleh perspektif Barat karena menurut Rogers, (1997) tidak adanya ilmuwan Asia ketika ia menulis tentang sejarah studi komunikasi, Rogers menjelaskan bahwa semua ilmuan berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Lalu dalam penelitian Dissanayake, (1988) di negara-negara Asia Tenggara, ia mengungkapkan bahwa 71 persen dari bahan yang digunakan dalam pengajaran teori komunikasi berasal dari Amerika. Hal ini terjadi karena teori-teori komunikasi Barat telah diterapkan secara global sebagai norma universal untuk kegiatan komunikasi selama beberapa dekade (Ayish, 2003) dan Bahasa Inggris merupakan bahasa yang dominan, sehingga penelitian dan teori-teori dalam Ilmu Komunikasi dari berbagai negara menggunakan Bahasa Inggris.
Dominasi perspektif Barat menyebabkan gagasan bahwa kita juga perlu mempelajari perspektif komunikasi dari Timur (Asia) (Dissayanake, 1988; Gunaratne, 2009; Kriyantono, 2014; Littlejohn & Foss, 2008; Raharjo, 2013). Menurut Kriyantono, (2014), di antara 27 teori public relations, tidak ada satupun dari teori tersebut yang berasal dari perspektif Timur atau Indonesia karena walaupun sudah terdapat banyak artikel yang membahas tentang public relations dalam budaya Asia dalam sepuluh tahun terakhir (Wu, 2005), sangat sedikit penggunaan bukti empiris tentang praktik-praktik public relations dari Negara lain (Sriramesh & Vercic, 2003a). Ayish (2003); Dissayanake (2003); Gunaratne (2009); Raharjo (2013), telah menemukan bahwa beberapa negara Asia telah menciptakan teori-teori komunikasi dari perspektif mereka sendiri, seperti Teori Komunikasi Cina, Teori Komunikasi India, Teori Harmony Chinese, Teori Komunikasi Konghucu, Teori Kuuki Jepang, dan Teori Komunikasi Tao. Teori Asia menggabungkan filosofi besar dari India dan Cina dan budaya daerah sekitarnya  (Gunaratne, 2009), termasuk Asia Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, dan Rusia Timur. Meskipun Indonesia secara geografis adalah sebuah negara di Asia, tetapi hal tersebut tidak memunculkan teori tunggal dari perspektif Indonesia menurut Dissayanake, (1988); Gunaratne, (2009); dan Wu, (2005).
Perspektif dari Indonesia sulit muncul dikarenakan tidak banyak ilmuwan Indonesia yang  mengeksplorasi kearifan lokal sebagai dasar untuk membangun teori-teori komunikasi yang relevan dengan konteks Indonesia (Raharjo, 2013). Masyarakat Indonesia, memiliki berbagai budaya dan kearifan lokal, pada umumnya, berbagai budaya tersebut memiliki karakteristik yang khas yang tidak dapat dengan mudah diuji dalam kerangka Barat. Oleh karena itu, menurut saya junal ini dibuat untuk mengembangkan teori public relations dengan menghadirkan perspektif normatif Indonesia sebagai dasar untuk membangun teori public relations yang sesuai dengan konteks Indonesia.


3.      Kearifan lokal Budaya Indonesia yang relevan dengan public relations

Menurut Radmilla, (2011) kearifan lokal adalah pengalaman lokal dan ide-ide dari kebijaksanaan dan kebaikan nilai-nilai yang diinternalisasi di antara generasi dalam suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal yang dikembangkan dari interaksi sosial akan menjadi doktrin moralitas atau kode etik. Doktrin-doktrin ini biasanya disebarkan melalui berbagai saluran komunikasi tradisional, seperti legenda, dongeng, cerita rakyat, komunikasi word of mouth (Indonesia: gethok tular), drama tradisional, lagu, dan peribahasa. Kearifan lokal telah menjadi tradisi untuk membimbing kehidupan masyarakat karena mereka dibangun dari integrasi nilai-nilai dan budaya masyarakat, sistem kepercayaan teistik, dan aspek geografis (Kriyantono, 2014). Masyarakat harus mematuhi dasar harmoni yang berasal dari nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebuah kearifan lokal terwujud dalam bentuk budaya lokal, seperti artefak, mitos, sistem kepercayaan, kegiatan sosial atau norma-norma. Dalam kegiatan public relations, kearifan lokal ini harus menjadi dasar untuk mengembangkan kegiatan tanggung jawab sosial oleh perusahaan, pemasaran sosial yang dilakukan oleh perusahaan, dan kegiatan yang dilakukan harus merupakan kegiatan yang baik dan bermakna bagi masyarakat. Dari semua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal Indonesia merupakan paduan dari komunikasi dan interaksi dalam masyarakat Indonesia. Kearifan lokal merupakan paduan antara empiris dan pragmatis untuk memecahkan masalah tentang kehidupan bermayarakat, karena dibangun dari sistem kepercayaan, nilai-nilai budaya dan geografi masyarakat setempat. Kegagalan dalam menggabungkan kearifan lokal masyarakat dengan praktik dalam teori public relations di Indonesia adalah bahwa kedua hal tersebut relatif tidak efektif karena kedua hal tersebut tidak relevan. Maka dari itu munculah beberapa kearifan lokal yang sesuai dengan public relations, yaitu:

a.       Musyawarah mufakat sebagai pengambilan keputusan di Indonesia

Komunikasi sebagai negosiasi dan kompromi untuk menciptakan solusi yang saling memuaskan sama seperti perspektif Indonesia yaitu musyawarah mufakat / rembugan, di sini public relations berguna untuk memfasilitasi penyebaran informasi kepada masyarakat secara langsung dan menyampaikan kepada manajemen tentang kebutuhan masyarakat. Public relations tidak harus fokus hanya pada pemenuhan tujuannya tetapi harus memberikan kesempatan untuk mendengar suara-suara orang lain, yang terpenting adalah untuk mencapai hubungan yang harmonis dengan masyarakat dengan meningkatkan kepekaan sosial (kepedulian sosial). Melalui kearifan lokal ini berarti bahwa seorang public relations harus bijak dan toleran dalam menghadapi masalah dalam rangka menciptakan solusi tanpa memberikan tekanan untuk pihak lainnya.

b.      Menjaga hubungan timbal balik yang didasarkan pada harmoni dalam sistem

Sebagai bagian dari sistem sosial, proses public relations harus mengarahkan organisasi untuk mencapai harmoni dalam sistem ketika ia beroperasi. Harmoni ini dikenal sebagai runtut raut sauyunan, yaitu hidup rukun dan damai bersama-sama; rukun agawe santosa, crah agawe bubrah, guyub rukun, yaitu, jika kita hidup dalam damai dan harmoni kita akan makmur, jika kita hidup dalam pertengkaran kita akan menderita. Organisasi harus rampa’ naong beringin Korong berdaun dan teduh, yaitu organisasi melindungi masyarakat seolah-olah itu adalah pohon beringin untuk membuat hidup harmonis, solidaritas, dan merangsang swadaya masyarakat (gotong royong).
Organisasi harus positif dalam sikapnya terhadap masyarakat, termasuk pesaing dan kelompok penekan terlepas dari apakah mereka mendukung atau menentang organisasi. Mereka harus dianggap sebagai teman dan mitra. Di perusahaan, misalnya, konsep harmoni akan menyebabkan manajer public relations tidak hanya memberikan perintah tetapi juga bersama-sama melakukan pekerjaan dengan staf. Kegiatan public relations harus diarahkan untuk membangun pengetahuan, sikap yang menguntungkan, dan perawatan untuk satu sama lain, sehingga tidak ada hambatan komunikasi, seperti kurangnya atau informasi kelebihan beban dan sumber informasi yang tidak jelas. 

c.       Perspektif Indonesia tentang mengatakan kebenaran

Prinsip katakan kebenaran adalah dasar dalam praktik public relations untuk membangun kepercayaan (J. E. Grunig & Hunt, 1984; Lattimore et al, 2007.). Perspektif Indonesia mengatakan ajining diri dumunung ana ing lathi dan basa iku busananing bangsa, yaitu kehormatan pribadi adalah pada kata-kata seseorang. Dengan memberikan keterbukaan, informasi yang benar, sebuah organisasi akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi dan untuk mendapatkan kepercayaan publik yang akan merangsang dukungan publik dan kerjasama.
Pentingnya mengatakan yang sebenarnya direpresentasikan dalam jeung leweh mah mending waleh (lebih baik untuk mengatakan sesuatu terus terang daripada menjaga kata karena tidak cukup berani untuk memberitahu). Dari perspektif ini, praktisi public relations tidak perlu takut dipecat sebagai akibat dari mencoba untuk melakukan fungsinya dengan baik. Jika organisasi melakukan perbuatan yang salah, maka public relations akan memberikan saran berdasarkan sikap ulah unggut kalinduan, ulah gedag kaanginan, yang berarti bahwa harus ada konsistensi dalam kebenaran dan kesesuaian antara batin diri seseorang dengan rasionalitas.

d.      Blusukan sebagai alat fasilitator komunikasi

Dalam hal ini, perilaku semua anggota organisasi harus berkontribusi untuk mengkomunikasikan citra publik organisasi. Oleh karena itu, semua orang adalah public relations dan Anda merupakan public relations diri Anda sendiri. Menurut Kriyantono, (2014), perspektif Indonesia menawarkan penjelasan serupa melalui ajining raga ana ing busana (secara fisik, kehormatan pribadi dapat dilihat dengan cara berdandan). Perspektif menunjukkan bahwa bagaimana satu tampilan akan mempengaruhi citra publik.
Public relations dari suatu organisasi adalah presentasi hidup dari karyawan dalam kegiatan sehari-hari termasuk cara berpakaian, berperilaku dengan integritas dan mengadopsi etos kerja. Dengan demikian fungsi penting public relations adalah untuk mempertahankan moralitas yang baik dan sopan santun dalam sebuah organisasi. Situasi ini juga diwakili dalam perspektif Indonesia: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (ketika public relations adalah di depan, ia harus memberikan contoh yang baik, ketika ia ada di tengah, ia harus memotivasi untuk melakukan pekerjaan yang baik, ketika ia ada di belakang, ia harus mendukung karyawan untuk mengekspresikan kemampuan mereka dengan berani).
Sebagai fasilitator komunikasi, penting bahwa public relations terlibat dalam interaksi sehari-hari antara karyawan untuk berbicara dan mendengar keluhan dan pendapat. Diharapkan kegiatan ini dapat membuka komunikasi internal dua arah yang mampu memberikan informasi tentang interaksi karyawan dengan publik. Interaksi karyawan dengan publik didasarkan pada konsep blusukan, yaitu komunikasi tatap muka langsung dengan masyarakat. Komunikasi tersebut bertujuan untuk menghindari divergensi interpersonal dan memunculkan komunikasi sambung roso yang berarti dari hati ke hati yang terdiri dari empati yang kuat. Komunikasi blusukan juga merupakan prinsip kebersamaan tanpa perbedaan status (manunggaling kawula gusti).

PENUTUP

Telah terbukti bahwa public relations dalam konteks Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan kearifan lokal. Jadi tidak perlu mengadopsi seluruh prinsip-prinsip Barat ke dalam teori atau praktik. Kita sebagai warga Indonesia juga harus menjaga, melestarikan, dan mengemban budaya-budaya dan kearifan lokal agar budaya tersebut tetap terjaga dan tidak punah di makan zaman. Sebagai seorang praktisi public relations dan sekaligus warga Indonesia, kearifan lokal harus diterapkan dalam kegiatan public relations. Dengan cara ini, budaya dan tradisi, dan norma-norma moral Negara Indonesia dapat dipertahankan meskipun negara kita mengalami transformasi menuju perekonomian dan gaya hidup yang lebih Barat.



DAFTAR PUSTAKA:
Kriyantono, R. (2014). Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal Aplikasi Penelitian dan Praktik. Jakarta: Kencana.
Kriyantono, R. & Mckenna, B. (2017). Developing a Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia. Malaysian Journal of Communication, 33(1), 1-16.