DEVELOPING A CULTURALLY-RELEVANT PUBLIC RELATIONS THEORY FOR INDONESIA
Sebagai Syarat Memenuhi
Tugas Mata Kuliah Teori Komunikasi (A.KOM.4)
Disusun Oleh:
Ulfa Taufany (155120207111096)
ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2017
Tulisan ini berisi hasil review
saya terhadap jurnal “Developing A
Culturally-Relevant Public Relations Theory For Indonesia yang ditulis oleh
Rachmat Kriyantono dan Bernard Mckenna”. Tujuan review ini adalah untuk
mengetahui permulaan munculnya teori public
relations, teori public relations
yang didominasi oleh perspektif Barat, dan budaya atau kearifan lokal yang ada
di Indonesia yang relevan dengan teori public
relations.
1.
Public relations
merupakan disiplin ilmiah baru di bidang komunikasi
Menurut Kriyantono (2014), public relations sudah muncul sejak adanya manusia di bumi. Hal ini
berkaitan dengan manusia yang harus berinteraksi dengan orang lain untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Segala bentuk interaksi inilah yang disebut
sebagai public relations. Dalam
bukunya yang berjudul “Teori Public
Relations: Perspektif Barat dan Lokal”, Kriyantono menyebutkan bahwa
perkembangan public relations dimulai
sejak berkembangnya dunia industri setelah revolusi industri di Eropa, lalu
menyebar hingga Amerika Serikat dan Asia. Karena perkembangannya inilah,
menyebabkan praktik public relation semakin
meluas dan mencakup diberbagai bidang kehidupan, seperti ekonomi, politik, dan
sosial. Bidang-bidang tersebut banyak mempengaruhi public relations. Maka dari itu, public relation disebut sebagai ilmu sosial yang bersifat
multidisiplin, sesuai dengan jurnal, hal tersebut terjadi karena public relations memiliki sedikit teori,
karena pada sebagian besar, teori-teori public
relations berasal atau “pinjaman” dari teori-teori atau bidang-bidang
kajian lain di kehidupan (Botan
& Hazleton, 2009; Greenwood, 2010; Mackey, 2003), seperti bidang
psikologi, antropologi, komunikasi massa, pemasaran dan bisnis, maupun
pemerintahan, tetapi menurut Edward
Bernays dan Edward Robinson, public
relations harus menjadi keduanya, yaitu menjadi ilmu sosial sekaligus perilaku terapan yang
dapat diterapkan karena
mengintegrasikan elemen teoritis dan praktis (Culbertson, Jeffers, Batu, & Terrell, 1993;
J. E. Grunig & Hunt, 1984).
2.
Perspektif Barat yang mendominasi public relations
Public
relations didominasi oleh perspektif Barat karena menurut Rogers, (1997) tidak adanya ilmuwan Asia ketika ia menulis tentang sejarah studi komunikasi, Rogers menjelaskan
bahwa semua
ilmuan berasal dari Amerika Serikat
dan Eropa. Lalu dalam penelitian Dissanayake, (1988) di negara-negara Asia Tenggara, ia mengungkapkan bahwa 71 persen dari bahan yang digunakan
dalam
pengajaran teori komunikasi
berasal
dari Amerika.
Hal ini terjadi karena teori-teori
komunikasi Barat telah diterapkan secara global sebagai norma universal untuk
kegiatan komunikasi selama beberapa dekade (Ayish, 2003)
dan Bahasa Inggris merupakan bahasa yang dominan, sehingga penelitian dan
teori-teori dalam Ilmu Komunikasi dari berbagai negara menggunakan Bahasa
Inggris.
Dominasi perspektif Barat
menyebabkan gagasan bahwa kita
juga perlu mempelajari perspektif komunikasi dari Timur (Asia)
(Dissayanake, 1988; Gunaratne, 2009; Kriyantono, 2014;
Littlejohn & Foss, 2008; Raharjo, 2013). Menurut Kriyantono,
(2014), di antara 27 teori public
relations, tidak ada
satupun dari teori tersebut yang
berasal dari perspektif Timur
atau Indonesia karena walaupun sudah terdapat banyak artikel yang membahas tentang public relations dalam budaya Asia dalam sepuluh tahun
terakhir (Wu, 2005), sangat sedikit penggunaan bukti empiris tentang praktik-praktik public
relations dari Negara lain
(Sriramesh & Vercic, 2003a).
Ayish (2003); Dissayanake (2003); Gunaratne (2009);
Raharjo (2013), telah menemukan bahwa beberapa negara Asia telah menciptakan
teori-teori komunikasi dari perspektif mereka sendiri, seperti Teori Komunikasi
Cina, Teori Komunikasi India, Teori Harmony Chinese, Teori Komunikasi Konghucu,
Teori Kuuki Jepang, dan Teori Komunikasi Tao. Teori Asia menggabungkan filosofi
besar dari India dan Cina dan budaya daerah sekitarnya (Gunaratne, 2009),
termasuk Asia Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, dan Rusia Timur.
Meskipun Indonesia secara geografis adalah sebuah negara di Asia, tetapi
hal tersebut tidak memunculkan
teori tunggal dari perspektif Indonesia menurut
Dissayanake, (1988); Gunaratne, (2009); dan Wu, (2005).
Perspektif dari Indonesia sulit muncul
dikarenakan tidak banyak
ilmuwan Indonesia yang mengeksplorasi
kearifan lokal sebagai dasar untuk membangun teori-teori komunikasi yang
relevan dengan konteks Indonesia (Raharjo, 2013). Masyarakat Indonesia, memiliki berbagai budaya dan kearifan lokal, pada
umumnya, berbagai budaya tersebut memiliki karakteristik yang khas yang tidak dapat dengan mudah diuji dalam kerangka Barat.
Oleh karena itu, menurut saya junal ini dibuat untuk mengembangkan teori public relations dengan menghadirkan perspektif normatif Indonesia
sebagai dasar untuk membangun teori public relations yang sesuai dengan konteks Indonesia.
3. Kearifan
lokal Budaya Indonesia yang relevan dengan public
relations
Menurut Radmilla, (2011) kearifan lokal adalah pengalaman lokal dan ide-ide dari
kebijaksanaan dan kebaikan nilai-nilai yang diinternalisasi di antara generasi
dalam suatu masyarakat tertentu. Kearifan lokal yang dikembangkan dari interaksi sosial akan
menjadi doktrin moralitas atau kode etik. Doktrin-doktrin ini biasanya disebarkan melalui berbagai
saluran komunikasi tradisional, seperti legenda, dongeng, cerita rakyat,
komunikasi word of mouth (Indonesia: gethok tular), drama tradisional, lagu,
dan peribahasa. Kearifan lokal telah menjadi tradisi untuk membimbing
kehidupan masyarakat karena mereka dibangun dari integrasi nilai-nilai dan
budaya masyarakat, sistem kepercayaan teistik, dan aspek geografis (Kriyantono,
2014). Masyarakat
harus mematuhi dasar harmoni
yang
berasal dari nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam
kehidupan sehari-hari, sebuah kearifan lokal terwujud dalam bentuk budaya
lokal, seperti artefak, mitos, sistem kepercayaan, kegiatan sosial atau
norma-norma. Dalam kegiatan public relations, kearifan lokal ini harus menjadi dasar untuk
mengembangkan kegiatan tanggung jawab sosial oleh perusahaan, pemasaran sosial yang dilakukan oleh perusahaan, dan kegiatan yang dilakukan harus merupakan
kegiatan yang baik dan
bermakna bagi masyarakat. Dari semua hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kearifan lokal Indonesia merupakan paduan dari komunikasi dan interaksi dalam masyarakat Indonesia. Kearifan lokal merupakan paduan antara empiris dan pragmatis untuk memecahkan masalah
tentang kehidupan bermayarakat, karena
dibangun dari sistem kepercayaan, nilai-nilai budaya dan geografi masyarakat
setempat.
Kegagalan dalam menggabungkan
kearifan lokal masyarakat dengan praktik dalam teori public relations di Indonesia adalah bahwa kedua hal
tersebut relatif tidak
efektif karena kedua hal tersebut tidak relevan. Maka dari itu munculah beberapa kearifan
lokal yang sesuai dengan public relations,
yaitu:
a.
Musyawarah
mufakat sebagai pengambilan keputusan di Indonesia
Komunikasi sebagai negosiasi dan kompromi untuk menciptakan solusi
yang saling memuaskan sama seperti perspektif Indonesia yaitu musyawarah mufakat / rembugan, di
sini public relations berguna untuk memfasilitasi penyebaran informasi kepada masyarakat
secara langsung dan menyampaikan kepada manajemen tentang kebutuhan masyarakat.
Public
relations tidak harus fokus
hanya pada pemenuhan tujuannya tetapi harus memberikan kesempatan untuk
mendengar suara-suara orang lain, yang terpenting adalah untuk mencapai hubungan yang harmonis
dengan masyarakat dengan meningkatkan kepekaan sosial (kepedulian sosial).
Melalui
kearifan lokal ini berarti bahwa
seorang
public relations harus bijak dan toleran dalam menghadapi masalah dalam
rangka menciptakan solusi tanpa memberikan tekanan untuk
pihak lainnya.
b.
Menjaga
hubungan timbal balik yang didasarkan pada harmoni dalam sistem
Sebagai
bagian dari sistem sosial, proses public
relations harus mengarahkan organisasi untuk mencapai harmoni dalam sistem ketika
ia beroperasi. Harmoni ini dikenal sebagai runtut raut sauyunan, yaitu hidup rukun dan damai bersama-sama; rukun
agawe santosa, crah agawe bubrah, guyub rukun, yaitu, jika kita hidup dalam damai dan harmoni kita
akan makmur, jika kita hidup dalam pertengkaran kita akan menderita. Organisasi
harus rampa’ naong beringin Korong berdaun dan teduh, yaitu organisasi melindungi masyarakat
seolah-olah itu adalah pohon beringin untuk membuat hidup harmonis,
solidaritas, dan merangsang swadaya masyarakat (gotong royong).
Organisasi
harus positif dalam sikapnya terhadap masyarakat, termasuk pesaing dan kelompok
penekan terlepas dari apakah mereka mendukung atau menentang organisasi. Mereka
harus dianggap sebagai teman dan mitra. Di perusahaan, misalnya, konsep
harmoni akan menyebabkan
manajer public relations
tidak hanya memberikan perintah tetapi juga bersama-sama
melakukan pekerjaan dengan staf. Kegiatan public
relations harus diarahkan
untuk membangun pengetahuan, sikap yang menguntungkan, dan perawatan untuk satu
sama lain, sehingga
tidak ada hambatan komunikasi, seperti kurangnya atau informasi kelebihan beban
dan sumber informasi yang tidak jelas.
c.
Perspektif
Indonesia tentang mengatakan kebenaran
Prinsip katakan kebenaran adalah dasar dalam praktik
public relations
untuk membangun kepercayaan (J. E. Grunig & Hunt, 1984; Lattimore et al,
2007.). Perspektif Indonesia mengatakan ajining diri dumunung
ana ing lathi dan basa iku busananing bangsa, yaitu kehormatan pribadi adalah pada kata-kata
seseorang. Dengan memberikan keterbukaan, informasi yang benar, sebuah organisasi akan dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi dan untuk mendapatkan kepercayaan
publik yang akan merangsang dukungan publik dan kerjasama.
Pentingnya
mengatakan yang sebenarnya direpresentasikan dalam jeung
leweh mah mending waleh
(lebih baik untuk mengatakan sesuatu terus terang daripada menjaga kata karena
tidak cukup berani untuk memberitahu). Dari perspektif ini, praktisi public relations tidak perlu takut dipecat sebagai akibat dari mencoba
untuk melakukan fungsinya dengan baik. Jika organisasi melakukan perbuatan yang
salah, maka public relations akan
memberikan saran berdasarkan sikap ulah unggut kalinduan,
ulah gedag kaanginan,
yang berarti bahwa harus ada konsistensi dalam kebenaran dan kesesuaian antara
batin
diri seseorang dengan rasionalitas.
d.
Blusukan
sebagai alat fasilitator komunikasi
Dalam
hal ini, perilaku semua anggota organisasi harus berkontribusi untuk mengkomunikasikan citra publik
organisasi. Oleh karena itu, semua orang adalah public relations dan Anda merupakan public relations diri Anda sendiri. Menurut Kriyantono, (2014), perspektif Indonesia menawarkan penjelasan
serupa melalui ajining raga ana ing busana (secara fisik, kehormatan pribadi dapat dilihat dengan cara berdandan). Perspektif menunjukkan bahwa bagaimana satu tampilan akan mempengaruhi citra publik.
Public
relations dari suatu
organisasi adalah presentasi hidup dari karyawan dalam kegiatan sehari-hari
termasuk cara berpakaian, berperilaku dengan integritas dan mengadopsi etos
kerja. Dengan demikian fungsi penting public
relations adalah
untuk mempertahankan moralitas yang baik dan sopan santun dalam sebuah
organisasi. Situasi ini juga diwakili dalam perspektif Indonesia: Ing
ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani (ketika public
relations adalah
di depan, ia harus memberikan contoh yang baik, ketika ia
ada di tengah, ia
harus memotivasi untuk melakukan pekerjaan yang baik,
ketika ia ada di
belakang, ia harus mendukung karyawan untuk mengekspresikan kemampuan mereka dengan
berani).
Sebagai
fasilitator komunikasi, penting bahwa public
relations terlibat dalam
interaksi sehari-hari antara karyawan untuk berbicara dan mendengar keluhan dan
pendapat. Diharapkan kegiatan ini dapat membuka komunikasi internal dua arah
yang mampu memberikan informasi tentang interaksi karyawan dengan publik. Interaksi karyawan dengan publik didasarkan pada konsep
blusukan, yaitu komunikasi tatap muka langsung dengan masyarakat. Komunikasi tersebut bertujuan untuk menghindari divergensi
interpersonal dan memunculkan komunikasi sambung roso yang berarti
dari hati ke hati yang terdiri dari empati yang kuat. Komunikasi blusukan juga merupakan prinsip kebersamaan tanpa
perbedaan status
(manunggaling kawula gusti).
PENUTUP
Telah
terbukti bahwa public relations dalam
konteks Indonesia dapat dilakukan sesuai dengan kearifan lokal. Jadi tidak
perlu mengadopsi seluruh prinsip-prinsip Barat ke dalam teori atau praktik. Kita sebagai warga Indonesia juga harus
menjaga, melestarikan, dan mengemban budaya-budaya dan kearifan lokal agar
budaya tersebut tetap terjaga dan tidak punah di makan zaman. Sebagai seorang
praktisi public relations dan
sekaligus warga Indonesia, kearifan lokal harus diterapkan dalam kegiatan
public relations. Dengan cara ini,
budaya dan tradisi, dan norma-norma moral Negara Indonesia dapat dipertahankan
meskipun negara kita mengalami transformasi menuju perekonomian dan
gaya hidup yang lebih Barat.
DAFTAR PUSTAKA:
Kriyantono, R. (2014). Teori Public Relations Perspektif Barat dan Lokal Aplikasi Penelitian
dan Praktik. Jakarta: Kencana.
Kriyantono,
R. & Mckenna, B. (2017). Developing a
Culturally-Relevant Public Relations Theory for Indonesia. Malaysian Journal
of Communication, 33(1), 1-16.